Pukul 03.00 pagi aku dibangunkan suara derit pintu depan yang terbuka,
rumah kami kecil dan berdinding kayu yang sederhana tidak akan dapat
menyembunyikan suara derit pintu manapun yang dibuka.
Aku juga
mendengar desir rantai dan roda motor butut kami yang didorong melewati
depan pintu kamarku keluar ke halaman lalu suara pintu depan ditutup dan
dikunci, aku mendengar derit pelan pintu pagar kawat seadanya yang
dipasang ayah untuk mencegah kambing masuk ke halaman dan memakan
tanaman-tanaman milik ibu.
Aku tahu motor itu dituntun menjauh dari
rumah kami lalu batuk-batuk pelan ketika dinyalakan sebelum
mengeluarkan suara raungan kasar yang sayup-sayup ku dengar sebelum
semuanya kembali sunyi seolah tidak pernah terjadi apapun.
Aku
tidak lagi bisa memejamkan mata, bayangan ibu dan ayahku yang sudah tak
muda lagi menembus kabut pagi buta yang dingin dengan motor butut yang
bisa mogok kapan saja menuju pasar induk untuk membeli beberapa barang
yang bisa dijual lagi terus muncul dalam pikiranku.
Aku melihat kedua adikku tertidur lelap dalam damai, mereka belum menyadari bagaimana beratnya hidup kami.
Kami bukan orang miskin, ayahku menolak untuk dikatakan miskin. “Jika
kita mengatakan kita miskin, berarti kita tidak mensyukuri apa yang kita
punya. Kitakan punya rumah, tidak kekurangan makanan dan kalian masih
bisa sekolah, masih banyak lagi yang lebih kekurangan dari pada kita”
kata ayahku selalu. Sering aku kesal dengan prinsip ayahku, apa salahnya
mengatakan kami miskin? Toh memang kenyataannya kami kesulitan secara
ekonomi. Atap rumahku sudah bercampur antara genteng, beberapa bagian
dilapisi dengan seng bekas yang ditemukan ayah dekat pasar, ada atap
dari anyaman daun kelapa didapur yang kulapisi dengan terpal bekas yang
ku temukan tak sengaja di tempat sampah, tiap aku mengeluhkan hal itu,
ayah dengan tenang menjawab “Yang penting sekarang rumah kita tidak
bocor kalau hujan” sambil tersenyum. Bicara tentang dinding rumah, kami
beruntung karena lantai dan seperlima dinding rumah sudah permanen
sehingga kami tidak memerlukan ranjang untuk tidur. Sisanya papan yang
jelek tetapi masih kuat, ada bekas-bekas sarang rayap karena memang
papan itu lebih tua dari aku. Ayah sering membuat larutan kapur sirih
lalu mengoleskannya ditempat yang mulai digerogoti rayap, ia akan
menutup lobang-lobang rayap dengan semacam lem dari lem kayu putih yang
entah dicampur apa sehingga ketika kering membuat dinding seperti
dipenuhi panu, lalu ketika aku mengeluhkan hal itu maka ayah akan
menjawab “Yang penting kita tidak kedinginan kalau malam” dengan santai
dan tersenyum.
Aku juga sering kesal dengan ibuku,
ia sering menyuruhku menambal seprei atau selimut yang robek parah,
menisik baju-baju yang robek, membeli baju baru jangan harap ada diluar
hari natal. Belum lagi makanan kami yang amat sangat seadanya, sering
aku harus memasak dari sisa sayur-sayur jualan ibu yang sudah layu untuk
sarapan dengan nasi yang sudah agak berbau namun belum basi. Aku
berangkat ke sekolah dengan uang saku seribu rupiah, cukup untuk sekali
jalan naik kendaraan umum sehingga aku harus memilih untuk naik angkot
pada saat berangkat atau saat pulang – aku lebih suka jalan kaki pulang
pergi agar uang seribu rupiahku bisa ku simpan. Adikku yang nomor dua
juga senang berjalan kaki denganku agar uangnya bisa dipakainya jajan.
Sepanjang jalan kami akan bercerita dan bercanda sehingga tidak terlalu
terasa jika perjalanan kami cukup jauh, kami biasanya berpisah di depan
sekolahnya karena sekolahku sedikit lebih jauh dari SMP adikku. Adik
bungsuku masih TK di taman kanak-kanak yang tidak jauh dari rumah kami.
Aku sering mengeluh ibuku tidak adil ketika membelikan makanan yang enak
untuk kedua adikku sementara aku tidak dan beralasan aku sudah besar
dan bisa makan apa saja,
atau ketika adikku meminta uang lebih
untuk kegiatan ekstrakulikuler atau les sementara aku harus bertahan
dengan seribu rupiahku walaupun ada pelajaran tambahan sehabis jam
sekolah. Ibuku selalu menyuruhku membawa bekal kalau ada pelajaran
tambahan dengan alasan aku bisa memasak sendiri sedang adikku tidak.
Jika sedang tak ada pelajaran tambahan dan jam pulang adikku jauh lebih
sore, aku sering berjalan pelan-pelan memutar lebih jauh agar tidak
langsung sampai di rumah. Aku sering berjalan sambil menghayalkan
hidupku tidak sesulit saat ini, kadang sambil memaki kedua orang tuaku
dan menganggap mereka bertanggung jawab atas hidupku yang sulit, aku
berharap bisa ikut les di tempat yang bagus seperti adikku nomor dua dan
bukan ikut les gratis di sekolah, bisa memakai pakaian yang bagus
seperti teman-temanku dan bukan baju bekas entah siapa yang kebesaran.
Aku sering duduk bendungan sungai kotor dekat rumahku, tidak ada
seorangpun yang suka datang ke tempat itu – mungkin karena aromanya, dan
menangis tanpa suara sampai aku lelah dan haus lalu pulang.
Rutinitas di rumahku selalu sama setiap hari, pukul 03.00 pagi orang
tuaku akan pergi ke pasar induk, kemudian ayahku akan mengantar ibuku
untuk berjualan di pasar inpres dan meninggalkannya disana, ayah akan
pulang ke rumah dan beristirahat sejenak. Pukul 04.30 pagi aku bangun
dan memilah-milah sayur atau bahan makanan apapun yang ku temukan dan
bisa ku masak untuk sarapan sambil menanak bubur dari nasi ada untuk
adik bungsuku yang tiap pagi harus sarapan bubur karena kalau tidak, ia
tak akan mau sarapan. Sementara itu, adikku nomor dua akan menyetrika
seragamnya dan adik bungsuku lalu mandi dan bersiap-siap. Setelah ia
mandi, aku akan membawa adik bungsuku ke kamar mandi dan memandikannya –
sering harus dengan sedikit perjuangan karena ia akan meronta tidak
senang dan aku akan menyanyikan lagu konyol agar ia tertawa, membantunya
mengenakan pakaian dalam – karena ia baru akan mengenakan seragam TK
nya setelah sarapan atau ia akan mengotorinya. Lalu adikku nomor dua
akan menyuapinya sementara ia sendiri sarapan, sementara aku gantian dan
bersiap-siap.
Biasanya ayah ku sudah bangun pukul 06.30
setelah istirahat 30 menit dan ia akan menyiapkan adik bungsuku
sementara aku dan adikku nomor dua sudah siap berangkat ke sekolah.
Sarapan? Tidak, aku tidak suka sarapan dengan masakanku yang asal masak
itu – lebih tepatnya tidak sempat, tetapi karena posturku ‘besar’ jadi
tidak pernah ada masalah dengan hal itu. Nantinya ayah yang akan
mengantar adik bungsuku, mengantar motor butut kami ke pasar sebelum
berangkat bekerja dan Ibuku yang akan menjemput adik bungsuku setelah
jualan. Semuanya sudah diatur, yang aku sendiri tidak ingat kapan
dimulainya jadwal itu.
Keluhan-keluhanku, rasa bosan dan
jenuh, rasa minder, dan perasaan-perasaan lain yang menusuk hatiku
hilang ketika suatu hari aku pulang sekolah lebih cepat dari biasanya
karena sakit perut.
Hari itu hari sabtu, hari libur ayah. Biasanya
hari itu adalah hari memperbaiki rumah bagi ayahku. Aku memasuki halaman
rumah tanpa suara, aku malas pulang sebenarnya tetapi tidak ada tujuan
lain apalagi perutku benar-benar terasa seperti ditusuk-tusuk. Aku
berdiam sejenak didekat jendela kamarku, berpikir apakah lebih baik aku
masuk mengaku sakit pada ibu atau langsung masuk kamar dan tidur tanpa
suara.
Aku refleks bersembunyi ketika melihat bayangan
ibu memperbaiki tirai kamar yang ku jahit dari seprei yang robek parah,
sementara sisanya ku jadikan kain lap. Saat itu untuk pertama kalinya
aku mendengar ibu menangis, seolah ingin menahan tangisnya tetapi
sia-sia dan aku masih bisa mendengar isaknya. “Eka harus kuliah,
bagaimana pun caranya” ku dengar ibuku bicara, “Yah, aku juga berpikir
demikian ma. Tetapi bagaimana caranya?” jawab ayahku pelan
“Aku banyak dosa sama anak itu pa, anak yang pertama kali lahir dari
rahimku tetapi tidak sekalipun bisa kubahagiakan. Kamu lihat gorden ini?
Eka yang buat, kamu lihat sprei-sprei ini? Eka juga yang jahit, kamu
lihat selimut, baju-baju, kasur, bahkan atap dapur? Eka yang perbaiki.
Kamu ingat pa? kapan terakhir kali kita membelikannya baju baru? Sudah
tiga tahun berlalu dan tidak ada baju baru untuknya sedangkan uang
tabungannya malah dia gunakan untuk membeli baju baru adik-adiknya.
Berdosa kita pa, berdosa padanya.”
Diam-diam aku mengiyakan perkataan ibuku, tetapi ada perasaan aneh menyusup dalam hatiku, perasaan tidak berharga.
“Pa, kamu ingat keluhan-keluhan Eka? Tetapi dia tidak pernah mengeluh
terlalu lama, ia juga tidak marah pada kita. Kamu ingat ketika ia
mengeluh tentang makanan? lalu ia membawa bibit cabe dan bawang untuk
ditanam di halaman, ia mengurusi adik-adiknya tiap hari. Eka mencari
jalan keluarnya sendiri, aku merasa gagal menjadi ibunya, pa..”
isak ibuku semakin jelas, dan perasaan tidak berharga itu kembali muncul dihatiku.
“Kita harus melakukan sesuatu, pa. Eka harus kuliah, cita-citanya harus kesampaian”
“Yah, papa juga sudah memikirkan hal itu. Mungkin papa akan ambil
lembur dibengkel, rumah juga sudah banyak diperbaiki jadi papa bisa cari
kerja tambahan Sabtu dan Minggu. Papa tidak akan mempermalukan
anak-anak kita dengan mengaku miskin, ma.
Anak-anak harus
tetap bisa mengangkat kepala mereka dan tidak dipermalukan dengan
keaadaan kita, papa akan kerja lebih keras.” “Mama juga akan jualan
siang pa, Nurah bisa ku ajak ke pasar. Pasar tidak terlalu ramai disiang
hari”
Pembicaraan mereka masih berlanjut tetapi aku
tidak bisa dengar lagi, mataku perih dan perutku sudah tak lagi terasa
sakit. Diam-diam aku meninggalkan rumah, aku berlari ke pinggir
bendungan dan menangis di sana. Dadaku terasa sesak dan air mataku tidak
lagi bisa aku bendung. Oh, Tuhan…akulah yang sudah berdosa.
Memang benar aku yang memperbaiki atap, sprei, selimut, tirai, baju-baju
tetapi apa istimewanya hal itu? Memang benar aku menggunakan tabunganku
untuk membeli baju baru adikku, lalu apa istimewanya hal itu? Bayangan
orang tuaku bangun pagi-pagi buta ke pasar untuk jualan, mengingat ayah
dan ibu mengangkat barang-barang berat untuk dibawa ke pasar inpres.
Ayahku harus bolak-balik pasar induk dan pasar inpres untuk membawa
sayur-sayur jualan ibu. Ibu harus berjuang sendirian di pasar, dengan
bungkusan-bungkusan sayur yang sebenarnya terlalu berat untuk dibawanya
sendirian, ia masih harus mengantar barang-barang pesanan sendirian, ia
harus menjaga adik bungsuku yang rewel dan sakit-sakitan, ia harus
membersihkan rumah, mencuci pakaian, memasak makan siang dan makan
malam, ia membuat keranjang-keranjang sayur dan membersihkan wortel dan
kubis agar tetap segar hingga jauh malam, ia bahkan merawat kebun
kecilku. Ayahku pulang kerja jauh malam, aku tahu ia lelah namun selalu
menyempatkan diri untuk mengisi bak air, memperbaiki motor bututnya,
membantu aku dan adik-adikku belajar dan membantu ibu dengan barang
dagangannya. Dengan semua itu, apa istimewa perbuatanku? Aku selalu
mengeluh dan mengeluh, mengeluh tidak diberikan les di luar sekolah dan
lupa mensyukuri les gratis di sekolah. Aku lupa bagaimana kerasnya orang
tuaku bekerja untuk membiayai pendidikan kami, sayang adik-adikku tidak
memiliki les gratis di sekolah mereka.
Aku mengeluh tentang baju
baru, lupa jika aku tidak pernah melihat orang tuaku memakai baju baru.
Aku mengeluhkan makanan, lupa jika kondisi fisik adik-adikku lebih lemah
dari aku dan jika mereka sampai sakit maka kami semua akan dalam
kesulitan. Aku mengeluhkan prinsip ayahku, lupa jika di negara ini orang
miskin sering disamakan dengan peminta-minta dan ayahku tak akan
membiarkan kami dilecehkan seperti itu.
Aku mengeluhkan atap,
dinding dan lantai rumah, lupa bagaimana ayah membanting tulang untuk
membayar rumah dan merawatnya selama bertahun-tahun. Lalu apa pentingnya
perbuatanku? Walaupun orang tuaku lelah, mereka tidak pernah membawa
kelelelahannya di depan kami. Ketika kami sakit, ayah dan ibu akan
merelakan waktu tidur mereka yang cuma dua jam setiap malam itu untuk
menjaga kami. Sementara jika mereka sakit, mereka hanya membaginya
diantara mereka berdua tanpa membebani kami dengan keluhan mereka.
Dan dengan perbuatanku yang sangat sedikit itu, aku membuat orang tuaku
merasa berdosa kepadaku? Tidak, akulah yang berdosa terhadap mereka.
Aku akan kuliah agar aku bisa mengeluarkan keluargaku dari
kesulitan-kesulitan ini. Tetapi aku berjanji dalam hatiku tidak akan
membebani mereka, bagaimanapun caranya.
from: https://www.facebook.com/IdeKonyol/posts/10151885371135894